
Dan bertaubatlah kamu semua orang – orang
yang beriman, supaya kamu memperoleh kemenangan ( An – Nur: 31).
Rasulullah SAW bersabda: “Hai manusia, bertaubatlah dan mintta ampunan
kepada Allah. Sesungguhnya saya (melakukan) taubat seratus kali setiap
hari (HR. Muslim)
Baik dalam Al-Qur’an maupun Hadist banyak
dijumpai keterangan – keterangan yang memerintahkan kepada manusia
supaya melaksanakan taubat itu. Kerap kali digunakan kata – kata tuubuu
(bertaubatlah kalian). Dalam ilmu nahwu, kata tuubuu itu dinamakan fi’il
‘amar yang mengandung unsur perintah.
Allah SWT memerintahkan kepada
orang-orang beriman supaya melakukan taunat, dengan tujuan untuk
membimbing manusia untuk mencapai kebahagiaan, baik dalam hidup di dunia
ini, lebih-lebih lagi di akhirat dan kembali kepadaNya dengan
memperbaharui niat/tajdiidunniyat (untuk melakukan) amal kebaikan.
Hujjatul Islam Imam Al-Ghozali mengatakan
bahwa hakekat taubat itu adalah meninggalkan dosa dengan niat tidak
akan kembali lagi berbuat dosa dengan niat tidak kembali berbuat dosa
seperti yang telah dikerjakannya itu. Lebih jauh Imam Al-Ghozali
menjelaskan bahwa, taubat itu mengandung 3 unsur, 1) Ilmu, 2) Keadaan,
dan 3) Perbuatan.
Pertama, taubat itu harus dilakukan
berdasar kesadaran dan ilmu. Artinya diketahui dengan sadar bahwa
perbuatan yang sudah dilakukan itu adalah perbuatan yang berdosa dan
salah. Kedua, setelah hal itu diketahui, hendaklah timbul suatu keadaan
(jeritan) didalam hati yaitu perasaan penyesalan yang tiada terhingga.
Ketiga, dari kedua unsur tadi lahirlah niat yang kuat dan sungguh –
sungguh bahwa tidak akan melakukan dosa itu kembali pada hari – hari
yang akan datang. Adapun yang terpenting dari sikap taubat tersebut
adalah menyesali diri atas perbuatan dosa yang telah dilakukan. Maka
dalam hubungan ini Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa “Penyesalan
itu adalah taubat”.
Para ulama memerinci bahwa syarat taubat
itu ada tiga perkara, yaitu: 1) mencabut perbuatan, (akar) maksiat yang
sudah dilakukan; 2) menyesali perbuatan yang telah dilakukan; 3)
menguatkan niat yang teguh (‘azam) bahwa tidak akan kembali lagi
melakukan perbuatan dosa itu. Syarat ini adalah mengenai kesalahan dan
kejahatan yang berhubungan dengan Tuhan saja.
Adapun jika amal perbuatan itu ada
hubungannya dengan sesama manusia, maka selain tiga syarat tersebut
diwajibkan pula untuk memenuhi syarat yang keempat, yaitu tindak
penyesalan terhadap pihak yang bersangkutan
Imam Ghozali membagi taubat kepada tiga
macam, yaitu: 1) Taubat orang yang biasa (awam), yaitu taubat yang
dilakukan terhadap dosa – dosa yang lahir dan nyata, semisal dosa
karena berzina, membunuh, mencuri, dan lain – lain; 2) Taubat yang
khusus, yaitu taubat seseorang terhadap dosa – dosa yang bersifat batin,
semisal dosa karena dengki, riya’, hasud, takabur, ujub, dan lain –
lain; 3) Taubat yang lebih khusus, yaitu taubat dari dosa karena lalai
mengingat Allah SWT. Rangka taubat yang demikianlah yang dimaksudkan
oleh Rasulullah SAW dalam hadist yang mengatakan bahwa beliau sendiri
bertaubat kepada Allah SWT seratus kali setiap hari.
Macam – macam derajat taubat
Imam Ghozali selanjutnya menjelaskan
bahwa derajat taubat itu dibagi menjadi empat tingkat, yaitu: 1) Taubat
yang teguh (istiqomah), inilah yang insyaallah disebut sengan taubat
nasuha itu. Tidak kembali lagi melakukan perbuatan dosa, tidak bisa
dibujuk, digoyang, didaya, dan lain – lain, sifatnya konstan dan
muthmainnah; 2) Taubat yang menengah. Dia teguh bertahan, tidak kembali
melakukan dosa – dosa yang besar, tetapi secara tidak sadar kadang –
kadang masih melakukan dosa – dosa yang kecil; 3) Taubat yang bersifat
sementara (temporary), yaitu tetap bertahan tidak melakukan perbuatan
dosa sampai kepada satu jangka waktu tertentu. Hanya bisa bertahan
sementara waktu, kemudian dia kembali melakukan perbuatan dosa itu; 4)
Taubat yang lemah. Hanya berlaku untuk satu masa waktu yang amat pendek
kemudian ia menjalankan perbuatan dosa itu kembali dengan sadar. Ini
tidak ada bedanya dengan makan sambal, padahal ia sudah mengatakan
pedas, tetapi harus berulang – ulang memakannya lagi.
Lebih lanjut lagi di dalam
Ihya’Ulumuddin, Imam Ghozali membawakan pesan: “Jika seorang telah
menyadari bahwa dirinya bermaksiat, maka bergegaslah untuk melakukan
pertaubatan. Jika hal ini tidak segera dilakukan, maka perbuatan maksiat
tersebut akan menggerogoti iman yang tersisa dalam dirinya. Bahkan
kalau dosa – dosa itu tidak segera dijauhinya, maka tinggal menunggu
waktu saat – saat lenyapnya iman dari hatinya”. Allah berfirman dalam
Al-Qur’an surat At-Tahrim ayat 8: ”Hai orang – orang yang beriman,
hendaklah benar – benar kamu bertaubat kepada Allah agar segala dosamu
dapat diampuni dan kamu dimasukkan kedalam surga dibawahnya mengalir
sungai – sungai”.
Wallahua’lambissowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar