Senin, 28 Januari 2013

PENDIDIKAN BERSUMBER LANGSUNG DARI RASULULLAH SAW


Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan Kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab : 21)
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang menciptakan manusia dengan segala kesempurnaan-Nya sehingga manusia menjadi satu – satunya makhluk yang mempunyai kemampuan untuk mengenal Tuhan secara utuh, artinya bagaimana manusia seharusnya mampu menggali potensi diri dengan ilmu, dan ilmu tidak pernahnlepas dari yang namanya pendidikan.
Konsep pendidikan dalam Islam ternyata bukan untuk mengajarkan, akan tetapi untuk menumbuhkan. Kita terahir di dunia ini ternyata sudah mempunyai ilmu bawaan, khususnya ilmu mengenal (ma’rifah) kepada Allah SWT. Kemampuan itu terjadi setelah ruh manusia yang mempunyai pembawaan ilahiyah, robanniyah, bahkan telah membuat perjanjian dengan Tuhan untuk beriman sebelum ruh menyatu dengan jasad fisik (alastu birobbikum? Qaluu bala: apakah kalian mengaku Aku sebagai Tuhanmu? Jawab ruh manusia sebelum menyatu dengan jasad: sungguh Engkau adalah Tuhan kami). Oleh karena itulah, maka tujuan dari manusia hidup ini adalah untuk kembali mengingat janji kita kepada Allah SWT, yaitu pengakuan bahwa Allah SWT Tuhan kita. Jadi sebenarnya tugas dari pendidikan mengenal Allah SWT adalah bukan lagi untuk mengajarkan sesuatu yang baru, tetapi untuk mengingatkan dan mengaktivasi potensi yang sudah ada pada diri kita yakni salah satunya adalah sesuatu yang sudah lama kita ketahui. Ini merupakan asumsi dasar bahwa manusia itu sudah memiliki kesempurnaan. Allah SWT berfirman: “Sesungghnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya” (QS. At-Tin: 4-6). Karena pendidikan dipahami sebagai aktivasi, maka pendidikan itu sifatnya tidak hanya mengajarkan dan memahamkan tetapi juga mempersiapkan manusia itu secara lahiriyah dan bathiniyah.
Pendidikan kita adalah untuk mengingatkan dan menyempurnakan diri yang pada hakekatnya itu sudah sempurna. Bahwa manusia itu sudah terlahir dengan kesempurnaannya tersendiri, tetapi entah bagaimana kita “turun ke lumpur, ke kotoran dan kehinaan”, oleh karena itu pendidikan dengan sendirinya adalah untuk kembali mengingatkan kesempurnaan diri kita dan mengeksplorasi kesempurnaan itu. Artinya, kembali mengingat kesempurnaan berarti manusia harus mempersiapkan dirinya untuk menjadi “bejana” ilmu, “bejana” ma’rifah, dan memperindah dirinya karena manusia pada akhirnya adalah makhluk yang sangat indah karena dibuat dalam rupa Arrahman. Memperindah diri itu menjadi suatu rangkaian yang erjalin sejalan dengan pendidikan, intelektual, spiritual, dan estetika. Bukan hanya kita menjadi manusia yang intelek, yang spiritual tapi berarti kalau orang itu intelektual maka dia spiritual, kalau dia spiritual berarti dia adalah orang/makhluk yang indah, yaitu orang yang mempunyai estetika. Maka dari itu, dalam tradisi kita (Ahlusunnah Wal Jama’ah) tidak cukup sebuah pemikiran saja, namun cara pemikiran itu harus dituangkan melalui cara-cara estetika yang indah. Sebagai contoh, bahwa dalam tradisi kita tidak ada ungkapan suatu pendapat atau wacana dengan kalimat-kalimat yang kasar atau dengan kalimat-kalimat yang tidak enak di dengar, dengan melotot-melotot, dengan teriak-teriak, apalagi menyebut nama Tuhan dengan teriak-teriak.
Setelah kita mengetahui hal diatas sebagai dasar dari sistem pendidikan kita (Islami), berarti salah satu dari kata kunci dalam tradisi kita itu adalah “Adab”. Adab itu berasal dari kata “Ma’daba” (jamuan), seperti dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’us “Inna fi hadzal Qur’an Ma’dabatullah fil-Alrdl”  yang artinya: bahwa sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan/jamuan Allah SWT di dunia dst”. Artinya apa? Jika kita diundang ke sebuah acara jamuan, maka bagaimana kita harus makan? Apa kita makan seperti kita makan di warung-warung dengan mengangkat kaki atau mungkin menggunakan tangan. Ini berarti ada tata cara bagaimana menyantap makanan yang sopan lagi baik, ada etikanya, bagaimana duduknya, yang dibicarakan apa, sehingga bisa makan dengan indah dan sopan lagi beradab. Berarti adab itu adalah kondisi bagaimana sesuatu itu ada pada tempatnya yang benar (menempatkan sesuatu pada tempatnya yang benar), oleh karena itu tidak aneh ketika sastra jiga disebut dengan adab. Wallahua’lambissowab.

Tidak ada komentar: