
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang
menciptakan manusia dengan segala kesempurnaan-Nya sehingga manusia
menjadi satu – satunya makhluk yang mempunyai kemampuan untuk mengenal
Tuhan secara utuh, artinya bagaimana manusia seharusnya mampu menggali
potensi diri dengan ilmu, dan ilmu tidak pernahnlepas dari yang namanya
pendidikan.
Konsep pendidikan dalam Islam ternyata
bukan untuk mengajarkan, akan tetapi untuk menumbuhkan. Kita terahir di
dunia ini ternyata sudah mempunyai ilmu bawaan, khususnya ilmu mengenal (ma’rifah)
kepada Allah SWT. Kemampuan itu terjadi setelah ruh manusia yang
mempunyai pembawaan ilahiyah, robanniyah, bahkan telah membuat
perjanjian dengan Tuhan untuk beriman sebelum ruh menyatu dengan jasad
fisik (alastu birobbikum? Qaluu bala: apakah kalian
mengaku Aku sebagai Tuhanmu? Jawab ruh manusia sebelum menyatu dengan
jasad: sungguh Engkau adalah Tuhan kami). Oleh karena itulah, maka
tujuan dari manusia hidup ini adalah untuk kembali mengingat janji kita
kepada Allah SWT, yaitu pengakuan bahwa Allah SWT Tuhan kita. Jadi
sebenarnya tugas dari pendidikan mengenal Allah SWT adalah
bukan lagi untuk mengajarkan sesuatu yang baru, tetapi untuk
mengingatkan dan mengaktivasi potensi yang sudah ada pada diri kita
yakni salah satunya adalah sesuatu yang sudah lama kita ketahui. Ini
merupakan asumsi dasar bahwa manusia itu sudah memiliki kesempurnaan.
Allah SWT berfirman: “Sesungghnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ketempat
yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya” (QS. At-Tin: 4-6). Karena
pendidikan dipahami sebagai aktivasi, maka pendidikan itu sifatnya tidak
hanya mengajarkan dan memahamkan tetapi juga mempersiapkan manusia itu
secara lahiriyah dan bathiniyah.
Pendidikan kita adalah untuk mengingatkan
dan menyempurnakan diri yang pada hakekatnya itu sudah sempurna. Bahwa
manusia itu sudah terlahir dengan kesempurnaannya tersendiri, tetapi
entah bagaimana kita “turun ke lumpur, ke kotoran dan kehinaan”, oleh
karena itu pendidikan dengan sendirinya adalah untuk kembali
mengingatkan kesempurnaan diri kita dan mengeksplorasi kesempurnaan itu.
Artinya, kembali mengingat kesempurnaan berarti manusia harus
mempersiapkan dirinya untuk menjadi “bejana” ilmu, “bejana” ma’rifah, dan memperindah dirinya karena manusia pada akhirnya adalah makhluk yang sangat indah karena dibuat dalam rupa Arrahman.
Memperindah diri itu menjadi suatu rangkaian yang erjalin sejalan
dengan pendidikan, intelektual, spiritual, dan estetika. Bukan hanya
kita menjadi manusia yang intelek, yang spiritual tapi berarti kalau
orang itu intelektual maka dia spiritual, kalau dia spiritual berarti
dia adalah orang/makhluk yang indah, yaitu orang yang mempunyai
estetika. Maka dari itu, dalam tradisi kita (Ahlusunnah Wal Jama’ah)
tidak cukup sebuah pemikiran saja, namun cara pemikiran itu harus
dituangkan melalui cara-cara estetika yang indah. Sebagai contoh, bahwa
dalam tradisi kita tidak ada ungkapan suatu pendapat atau wacana dengan
kalimat-kalimat yang kasar atau dengan kalimat-kalimat yang tidak enak
di dengar, dengan melotot-melotot, dengan teriak-teriak, apalagi
menyebut nama Tuhan dengan teriak-teriak.
Setelah kita mengetahui hal diatas
sebagai dasar dari sistem pendidikan kita (Islami), berarti salah satu
dari kata kunci dalam tradisi kita itu adalah “Adab”. Adab itu berasal
dari kata “Ma’daba” (jamuan), seperti dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’us “Inna fi hadzal Qur’an Ma’dabatullah fil-Alrdl” yang artinya: bahwa sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan/jamuan Allah SWT di dunia dst”.
Artinya apa? Jika kita diundang ke sebuah acara jamuan, maka bagaimana
kita harus makan? Apa kita makan seperti kita makan di warung-warung
dengan mengangkat kaki atau mungkin menggunakan tangan. Ini berarti ada
tata cara bagaimana menyantap makanan yang sopan lagi baik, ada
etikanya, bagaimana duduknya, yang dibicarakan apa, sehingga bisa makan
dengan indah dan sopan lagi beradab. Berarti adab itu adalah kondisi
bagaimana sesuatu itu ada pada tempatnya yang benar (menempatkan sesuatu
pada tempatnya yang benar), oleh karena itu tidak aneh ketika sastra
jiga disebut dengan adab. Wallahua’lambissowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar