SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM PADA
PERIODE KLASIK [650 – 1800 M]
PERIODE KLASIK [650 – 1800 M]
Harun Nasution, membagi Sejarah
Perkembangan Peradaban Islam ke dalam tiga periode yaitu [1] periode
klasik [650-1250 M], dibagi dalam dua masa : [a] masa kemajuan Islam I
[650-100], [b] masa disintegrasi [1000 – 1250 M]. [2] Periode
pertengahan [1250 – 1800], dan [3] Periode Modern [1800 M]1. Untuk
periode modern akan dibicarakan pada bagian tersendiri. Periode
klasik ini dapat dibagi ke dalam dua masa, yaitu masa Kamajuan Islam I dan masa Disintegrasi.
klasik ini dapat dibagi ke dalam dua masa, yaitu masa Kamajuan Islam I dan masa Disintegrasi.
1. Masa Kemajuan I [650 – 1000 M]
Masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi dan keemasan Islam. Dalam hal ekspansi, sebelum Nabi Muhammad wafat di tahun 632 M, seluruh Semenanjung Arabia telah tunduk di bawak kekuasaan Islam, dan ekspansi ke daerah-daerah di luar Arabia dimulai pada zaman Khalifah pertama Abu Bakar al-Siddik2.
Masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi dan keemasan Islam. Dalam hal ekspansi, sebelum Nabi Muhammad wafat di tahun 632 M, seluruh Semenanjung Arabia telah tunduk di bawak kekuasaan Islam, dan ekspansi ke daerah-daerah di luar Arabia dimulai pada zaman Khalifah pertama Abu Bakar al-Siddik2.
a. Masa Khulafa al-Rasyidin
Nabi Muhammad tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Tanpaknya beliau menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Setelah beliau wafat dan jenazahnya belum dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah di Madinah untuk musyawarah menentukan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah tersebut berjalan cukup “alot”, karena masing-masing pihak baik kaum Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam.
Nabi Muhammad tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Tanpaknya beliau menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Setelah beliau wafat dan jenazahnya belum dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah di Madinah untuk musyawarah menentukan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah tersebut berjalan cukup “alot”, karena masing-masing pihak baik kaum Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam.
Tetapi dengan semangat ukhuwah Islamiah
yang tinggi, Abu Bakar terpilih sebagai pemimpin umat Islam3. Menurut
Hassan Ibrahim Hassan, bahwa semangat keagamaan Abu Bakar, mendapatkan
penghargaan yang dari umat Islam4, sehingga masing-masing pihak
[Muhajirin dan Anshar] dapat menerima Abu Bakar dan membaitkannya
sebagai pemimpin umat Islam.
1] Masa Khalifah Abu Bakar [632-634 M]
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah [pengganti Rasul] yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Abu Bakar menjadi khalifah di tahun 632 M dan usia kepemimpinannya hanya dua tahun, karena pada tahun 634 M Abu Bakar meninggal dunia5. Masanya yang singkat itu banyak dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri , terutama tantangan atau sikap membangkan dari suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk pada pemerintahan Madinah
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah [pengganti Rasul] yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Abu Bakar menjadi khalifah di tahun 632 M dan usia kepemimpinannya hanya dua tahun, karena pada tahun 634 M Abu Bakar meninggal dunia5. Masanya yang singkat itu banyak dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri , terutama tantangan atau sikap membangkan dari suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk pada pemerintahan Madinah
Alasan yang sangat substansial dari sikap
membangkan adalah “mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat
dengan Nabi Muhammad, dengan sendirinya tidak mengingat lagi dan batal,
setelah Nabi wafat”. Dngan dasar ini, maka mereka kemudian mengambil
sikap menentang Abu Bakar, sebagai pemimpin umat Islam. Karena sikap
membangkang, menentang dan keras kepala yang dapat membahayakan agama
dan pemerintahan, maka Abu Bakar menyelesaikan persoalan tersebut dengan
apa yang disebut Perang Riddah [perang melawan kemurtadan]. Dalam
perang Riddah ini, Khalid ibn al-Walid adalah jenderal yang banyak dalam
mengatasi perang tersebut7.
Setelah Abu Bakar, menyelesaikan
persoalan dalam negeri, kemudian mulai mengirimkan kekuatan-kekuatan ke
luar Arabia. Khalid ibn al-Walid dikirim ke Irak dan dapat menguasai
al-Hirah di tahun 634 M8. Ke Syria dikirim ekspediri di bawah pimpinan
tiga jenderal yaitu Amr Ibn al-Aas, Abu Ubaidah, Yazid ibn Abi Sufyan,
dan Syurabbil ibn Hasanah. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang
masih berusia 18 tahun. Kemudian untuk memperkuat tentara ini, Khalid
ibn al-Walid diperintahkan meninggalkan Irak, melalui gurun pasir yang
jarang dilalui dan ia sampai ke Syria delapanbelas hari kemudian9.
Pada tahun 634 M Abu Bakar meninggal
dunia, sementara barisan depan pasukan Islam berada di Palestina, Irak
dan kerajaan Hirah. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah
dekat, maka ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat dan mengangkat
Umar ibn Khattab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah
kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat
Islam10. Kebijakan Abu Bakar tersebut, diterima umat Islam dan secara
beramairamai membaiat Umar ibn Khattab untuk menjadi khalifah kedua.
2] Masa Khalifat Umar ibn Khattab [634 – 644 M]
Umar ibn Khattab, menyebut dirinya sebagai khalifah Khalifati Rasulillah [pengganti dari pengganti Rasulullah]. Selain itu, Umar ibn Khattab, juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin [Komandan orang-orang yang beriman]. Usaha-usaha yang telah dilakukan Abu Bakar dilanjutkan oleh khalifah kedua Umar ibn Khattab.
Umar ibn Khattab, menyebut dirinya sebagai khalifah Khalifati Rasulillah [pengganti dari pengganti Rasulullah]. Selain itu, Umar ibn Khattab, juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin [Komandan orang-orang yang beriman]. Usaha-usaha yang telah dilakukan Abu Bakar dilanjutkan oleh khalifah kedua Umar ibn Khattab.
Di zaman Umar ibn Khattab, gelombang
ekspansi [perluasan daerah kekuasaan dan da’wah] pertama terjadi yaitu
ibu kora Syria Damaskus jatuh pada tahun 635 M dan setahun kemudian,
setelah tentara Bizantium kalah dipertempuran Yarmuk, maka seluruh
daerah Syria jatuh di bawah kekuasaan dan da’wah Islam. Syria dijadikan
sebagai basis, maka ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan ‘Amr
ibn ‘Aas dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad ibn Abi al-Waqqas.
Iskandaria, ibu kota Mesir ditaklukkan dan jatuh di bawah kekuasaan
Islam pada tahun 641 M. Kemudian al- Qadisiyah sebuah kota dekat Hirah
di Iraq jatuh tahun 637 M dan dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota
Persia, al-Madain jatuh pada tahun itu juga dan pada tahun 641M, Mosul
dapat dikuasi. Dengan demikian, pada masa khalifah Umar ibn Khattab,
wilayah kekuasaan dan da’wah Islam telah meliputi Jazirah Arabiah,
Palestina, Syria, Irak, Persia dan Mesir11.
Pada zaman Umar ibn Khattab, perluasan
daerah da’wah terjadi dengan cepat, sehingga khalifah Umar ibn Khattab
segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang
sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur
menjadi delapan wilayah propinsi, yaitu : Mekkah, Madinah, Syria,
Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang
dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan
system pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam
rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk
menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian
pula jawatan pekerjaan umum12. Selain itu, Umar juga mendirikan Bait
al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun hijrah13.
Periode pemerintahan Umar ibn Khattab
selama sepuluh tahun [13-23 H/634-644M] dan masa jabatannya berakhir
dengan kematian, karena dibunuh oleh Abu Lu’lu’ah seorang budak dari
Persia. Untuk menentukan penggantinya, Umar ibn Khattab tidak menempuh
jalan yang dilaukakn Abu Bakar. Umar ibn Khattab, menunjuk enam orang
sahabat, yaitu : [1] Usman, ibn Affan [2] Ali ibn Abi Thalib, [3] Thalhah, [4] Zubair, [5] Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan [6] Abdurrahman ibn Auf, dan meminta mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Setelah Umar ibn Khattab wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman ibn Affan sebagai khalifah ketiga, tentu saja melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib14.
sahabat, yaitu : [1] Usman, ibn Affan [2] Ali ibn Abi Thalib, [3] Thalhah, [4] Zubair, [5] Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan [6] Abdurrahman ibn Auf, dan meminta mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Setelah Umar ibn Khattab wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman ibn Affan sebagai khalifah ketiga, tentu saja melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib14.
3] Masa Khalifah Usman ibn Affan [644 –
655 M] Pemerintahan Usman ibn Affan berlangsung selama 12 tahun dan
terjadi perluasan wilayah kekuasaan dan da’wah sampai ke Armenia,
Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia,
Transoxania, dan Tabaristan berhasil disebut. Ekspansi Islam pertama
berhenti sampai di sini15.
Pada masa pemerintahan Usman ibn Affan,
di kalangan umat Islam mulai terjadi perpecahan karena soal
pemerintahan. Muncul perasaan tidak puas dan kecewa terhadap sistem
pemerintahannya. Kepemimpinan Usman ibn Affan memang sangat berbeda
dengan kepemimpinan Umar ibn Khattab, hal ini mungkin disebabkan umurnya
yang lanjut [diangkat dalam usia 70 tahun] dan sifatnya yang lemah
lembut16. Selain itu, salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat
kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijakannya mengangkat
keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah
Marwan ibn Hakam dan dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan,
sedangkan Usman hanya menyandang gelar khalifah17.
Setelah banyak anggota keluarganya yang
duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan
kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah
terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan
dan harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri. Akhirnya pada tahun 35 H/655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa18 terhadap kebijakan pemerintahannya dan sebagai penggantinya adalah Ali ibn Abi Thalib. Jasa Khalifah Usman diantaranya membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Usman juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, mesjid-mesjid dan memperluas mesjid Nabi di Madinah19.
dan harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri. Akhirnya pada tahun 35 H/655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa18 terhadap kebijakan pemerintahannya dan sebagai penggantinya adalah Ali ibn Abi Thalib. Jasa Khalifah Usman diantaranya membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Usman juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, mesjid-mesjid dan memperluas mesjid Nabi di Madinah19.
4] Masa khalifah Ali ibn Abi Thalib [656 – 661 M]
Setelah Usman ibn Affan wafat, masyatakat Islam beramai-ramai membait Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah ke empat. Ali ibn Abi Thalib memerintah hanya enam tahun dan nasibnya sama dengan khalifah Umar ibn Khattab dan Usman ibn Affan yaitu mati terbunu. Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai tantangan dan pergolakan, sehingga pada masa pemerintahannya tidak ada masa sedikit pun yang dapat dikatakan stabil20.
Setelah Usman ibn Affan wafat, masyatakat Islam beramai-ramai membait Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah ke empat. Ali ibn Abi Thalib memerintah hanya enam tahun dan nasibnya sama dengan khalifah Umar ibn Khattab dan Usman ibn Affan yaitu mati terbunu. Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai tantangan dan pergolakan, sehingga pada masa pemerintahannya tidak ada masa sedikit pun yang dapat dikatakan stabil20.
Setelah menduduki jabatan sebagai
khalifah, Ali ibn Abi Tahlib, mulai memecat para gubernur yang diangkat
oleh Usman. Ali, yakin bahwa pemberontakanpemberontakan yang terjadi
karena keteledoran mereka. Selain itu, dia juga menarik kembali tanah
yang dihadiakan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil
pendapatannya kepada negara dan memakai kembali sistem distribusi pajak
tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan pada
masa khalifah Umar ibn Khattab21.
Ali ibn Abi Thalib, mendapatkan tantangan
dari pihak pendukung Usman Ibn Affan, terutama Mu’awiah, Gubernur
Damskus, dari golongan Talhah dan Zubeir di Mekkah dan dari kaum
Khawarij. Ali ibn Abi Thalib, menghadapi penberontakan Thalhah, Zubair
dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunu Usman
ibn Affan dan meraka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah
ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin menghindari perang,
sehingga Ali mengirimkan surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya
mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan
tersebut ditolah dan pertempuran kedua belah pihak tidak dapat
dihindari. Berkobarkan pertempuran yang dahsat yang disebut dengan
“Perang Jamal” [Perang Berunta] dan Aisyah [iteri Nabi] terlibat dalam
perang melawan Ali ibn Abi Thalib dengan menunggang unta. Ali ibn Abi
Thalib berhasil mengalahkan lawannya, Zubair dan Thalhah terbunuh ketika
hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke
Madinah22.
Kebijakan Ali ibn Abi Thalib, juga
mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur Damaskus Mu’awiyah yang
didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan
kedudukan dan kejayaan mereka. Jadi, setelah Ali ibn Abi Thalib,
berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, kemudian
Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar
tentaranya.
Pasukan Ali bertemu dengan pasukan
Mu’awiyah di Shiffin dan pertempuran tidak dapat dihindari. Pertempuran
yang terjadi di sini antara Ali dengan Mu’awiyah dikenal dengan nama
“perang shiffin”. Perang ini diakhiri dengan tahkim [arbitrase], tapi
tahkim tersebut ternyata tidak menyelesaikan persoalan, bahkan
menyebabkan timbulnya golongan ketiga yaitu golongan al-Khawarij,
orang-orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib yang berbalik
menentang Ali dan Mu’awiyah.
Diakhir ujung masa pemerintahan Ali ibn
Abi Thalib, umat Islam terpacah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu :
[1] golongan Mu’awiyah, [2] golongan Syi’ah [pengikut] Ali, dan [3]
golongan al-Khawarij [kumpulan orang-orang yang keluar dari barisan Ali
ibn Abi Thalib]. Tanpaknya keadaan ini tidak menguntungkan Ali ibn Abi
Thalib, sebab pasukannya semakin lemah dan sementara posisi Mu’awiyah
semakin kuat. Maka pada tanggal 20 Ramadhan 40 H [660 M], Ali ibn Abi
Thalib terbunu oleh salah seorang anggota Khawarij.
Kedudukan Ali ibn Abi Thalib sebagai
khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan.
Tetapi kedudukan Hasan-pun lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat dan
akhirnya Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat
mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik di
bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Tetapi di sisi lain, perjanjian itu juga
menguntungkan Mu’awiyah yang menyebabkannya menjadi seorang penguasa
absolut dalam Islam. Maka tahun 41 H [661 M], tahun persatuan itu,
dikenal dalam sejarah Islam sebagai tahun Jama’ah [‘am jama’ah]23. Dari
sisi tercatat sebagai sejarah berakhirnya apa yang disebut dengan nama
Khulafa’ur Rasyidin, dan kemudian sebagai awal dimulailah kekuasaan Bani
Umayyah dalam sejarah politik Islam. Dari masa khulafa al-Rasidin ini,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagai perkembangan pemikiran
dan pedaban Islam, yaitu :
1. Setelah Rasul wafat muncul sistem pemerintahan Islam yang disebut dengan Khalifah.
2. Sistem pemelihan khalifah, yaitu : Abu Bakar dipilih melalui musyawarah, Umar ibn
Khattab, melalui wasiat dari Abu Bakar, Usman ibn Affan, melalui musyawarah enam orang sahabat untuk memilih, dan Ali ibn Abi Thalib, dibaiat langsung oleh Masyarakat Islam.
Khattab, melalui wasiat dari Abu Bakar, Usman ibn Affan, melalui musyawarah enam orang sahabat untuk memilih, dan Ali ibn Abi Thalib, dibaiat langsung oleh Masyarakat Islam.
Islam, yaitu pada masa Abu Bakar,
perluasan wilayah kekuasaan dan da’wah3. Kemajuan dari aspek perluasana
kekuasaan dan da’wah serta aspek peradaban samapi ke Syria. Pada masa
Umar ibn Khattab, perluasan wilayah kekuasaan dan da’wah Islam meliputi
Jazirah Arabia, Palestina, Syria, dan sebagian besar wilayah Persia dan
Mesir. Selain perluasan wilayah, Umar ibn Khattab, juga melakukan
perbaikan pada system administrasi pemerintahan menjadi delapan wilayah
propinsi, diatur dan ditertibkan system pembayaran gaji dan pajak tanah,
pengadilan didirikan untuk memisahkan lembaga yudikatif dengan
eksekuitf, membangun system keamanan dengan dibentuk jawabatan keamanan
[kepolisian], dibentuk jawatan pekerjaan umum, mendirikan Bait al-Mal,
menempa mata uang, dan menentukan tahun hijrah. Pada masa Usman ibn
Affan, membangun bendungan untuk menjaga arus banjir, pengaturan
pembagian air ke kota-kota, membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan,
measjid-mesjid, termasuk memperluas mesjid Nabi di Madinah. Pada masa
Ali ibn Abi Thalib, secara politik dan pemikiran mucul tiga golongan,
yaitu: golongan Muawiyah, golongan syi’ah [pengkut] Ali, dan golongan
khawarij.
4. Ekspansi dan da’wah Islam ke
negara-negara yang sangat jauh dari pusat kekuasaan Islam dalam waktu
tidak lebih dari setengah abad, merupakan kemenagan yang menakjubkan
dari suatu bangsa yang sebelum belum mempunyai pengalaman politik yang
memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi dan da’wah Islam itu
demikian cepat, antara lain adalah24: [1] Islam, di samping merupakan
ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga merupakan agama
yang mementingkan soal pembentukan masyarakat. [2]
Dalam dada para sahabat Nabi tertanam
keyakinan tebal tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam
[da’wah] ke seluruh penjuru dunia. Di samping itu, suku-suku bangsa Arab
gemar berperang. Oleh karena itu, semangat d’awah dan kegemaran
berperang tersebut membentuk suatu kesatuan yang padu dalam diri umat
Islam. [3] Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur
Tengah pada waktu itu, mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan,
baik karena sering terjadi peperangan antara kedua kekuatan tersebut
maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing negara
tersebut. [4]
Pertentangan aliran agama di wilayah
Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat.
Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksakan aliran yang
dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya
peperangan melawan Persia. [5] Islam datang ke daerah-daerah yang
dimasukinya dengan sikap simpati dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk
mengubah agamanya dan masuk Islam. [6] Bangsa Sami di Syria dan
Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat
kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.
[7] Mesir, Syria, dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu
membantu penguasa Islam untuk membiayai ekspansi dan da’wah ke daerah
yang lebih jauh. Dengan demikian mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada
masa Ali dinamakan periode Khilafah Rasyidin. Para khalifahnya disebut
dengan al-khulafa’ alrasyidun, [khalifah-khalifah yang mendapat
petunjuk]. Ciri masa ini adalah pada khalifah betul-betul menurut
teladan Nabi. Mereka dipilih melalui musyawarah atau disebut dengan
proses demokrasi25. Tetapi ada hal yang sangat menyedihkan dari periode
khulafah Rasyidin ini adalah khalifah Umar ibn Khattan, Usman ibn Affan,
dan Ali ibn Abi Thalib, meninggal dalam keadaan terbunu oleh
lawan-lawan politik mereka pada masa pemerintahan mereka. Kemudian
setelah periode ini, pemerintahan Islam berbentuk kerajaan dan kekuasaan
diwariskan secara turun temurun. Khalifah pada masa khilafah rasyidin
tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan,
tetapi mereka selalu bermusyawarah dengan para sahabat dan
pembesarpembesar yang lain. Sedangkan pada masa kerajaan Islam, rajanya
sering bertindak otoriter.
b. Masa Dinasti Umayyah dan Abasiyah
Pada masa ini sistem pemerintahan Islam tidak lagi berbetuk khilafah tetapi bernetuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun, sehingga demokratis berubah menjadi monarchiheridetis [kerajaan turun temurun]. Dalam sejarah perkembangan Islam ada dua kerajaan besar yang sangat popular yaitu khilafah Bani Umayyah dan Bani Abasiyah.
Pada masa ini sistem pemerintahan Islam tidak lagi berbetuk khilafah tetapi bernetuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun, sehingga demokratis berubah menjadi monarchiheridetis [kerajaan turun temurun]. Dalam sejarah perkembangan Islam ada dua kerajaan besar yang sangat popular yaitu khilafah Bani Umayyah dan Bani Abasiyah.
1] Khilafah Bani Umayyah
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah dalam bentuk yang berbeda dengan masa khilafah rasyidin. Pemerintahan yang bersifat demokratis pada masa khilafah rasyidin berubah menjadi monarchiheridetis [kerajaan turun temurun]. Artinya, ada perubahan pemikiran politik dalam sistem pemerintahan Islam. Sisi lain yang perlu dicermati adalah kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, tipu daya dan tidak melalui musyawarah dengan sistem pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyat untuk menyatakan setia terhadap anaknya Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi ala Persia dan Bizantium. Walaupun di satu sisi, Muawiyah tetap mempertahankan istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Muawaiyah menyebutnya Khalifah Allah dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah26.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah dalam bentuk yang berbeda dengan masa khilafah rasyidin. Pemerintahan yang bersifat demokratis pada masa khilafah rasyidin berubah menjadi monarchiheridetis [kerajaan turun temurun]. Artinya, ada perubahan pemikiran politik dalam sistem pemerintahan Islam. Sisi lain yang perlu dicermati adalah kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, tipu daya dan tidak melalui musyawarah dengan sistem pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyat untuk menyatakan setia terhadap anaknya Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi ala Persia dan Bizantium. Walaupun di satu sisi, Muawiyah tetap mempertahankan istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Muawaiyah menyebutnya Khalifah Allah dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah26.
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang
lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyah dari ke Damaskus,
tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Khalifah-khalifah besar
dinasti Bani Umayyah adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan [661-680 M], Abd
al-Malik ibn Marwan [685-705 M], al-Walid ibn Abdul Malik [705-715 M],
Umar ibn Abd al-Aziz [717 – 720 M], dan Hasyim ibn Abd al-Malik [724 –
743 M]27.
khalifah Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi
Thalib, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini.Pada masa Bani Umayyah,
ekspansi dan da’wah Islam yang tehenti pada masa Perluasaan kekuasaan
dan da’wah yang dilakukan dinasti Muawiyah, dimulai dari menguasai
Tunisia, kemudian di disebelah timur, Muawiyah menguasai daerah Khurasan
samapi ke sungai Oxus, Afganistan sampai ke Kabul, kota Bizantium dan
Konstantinopel. Ekspansi ketimur kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd
al-Malik dengan menguasai Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan
Samarkand, bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind
dan daerah Punjab sampai ke Maltan28.
Ekspansi dan da’wah Islam ke Barat
dilakukan oleh al-Walid ibn Abdul Malik. Pada masa pemerintahan Walid
merupakan masa ketenteraman, kemakmuran, ketertiban dan umat Islam
merasa hidup bahagia. Masa pemerintahan walid berjalan kurang lebih
sepuluh tahun dan tercatat suatu ekspediri militer dari Afrika Utara
menuju wilayah barat daya, benua Eropa pada tahun 711 M. Maka setelah
al-Jazair dan Marokko ditunduhkan, panglima perang Islam Tariq bin Ziyad
menyebrangi selat antara Marokko dengan benua Eropa selat Gibraltar
[Jabal Tarqi]. Tentara Spanyol dikalahkan dan Spanyol menjadi sasaran
ekspansi dan da’wah Islam selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova dengan
mudah dikuasai, kemudian menyusul kota-kota lain seperti Seville,
Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah
jatuhnya Kordova29. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah
karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita
akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar ibn Abd al-Aziz, perluasan
kekuasaan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee yang dipimpin
oleh Rahman ibn Abdullah al-Ghafiqi dan melanjutkan perluasan ke
Bordeau, Poitiers. Dari sana al-Ghafiqi menyerang Tours, dan dalam
pertempuran yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunu dan
pasukannya mundur ke Spanyol. Dengan keberhasil ekspansi dan da’wah
Islam ke beberapa daerah, baik ditimur maupun barat, wilayah kekuasaan
dan da’wah Islam pada masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah
kekuasaan dan da’wah Islam meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria,
Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia,
Afhanistan, Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah30.
Pada masa Dinasti Bani Umayyah, selain
perluasan kekuasaan dan da’wah, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam
pembangunan di berbagai bidang. Muawiyyah mendirikan dinas pos dan
tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan
perlatannya di sepanjang jalan. Muawiyah juga berusaha menertibkan
angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus
seorang hakim [qadhi – seorang spesialis dibidangnya] mulai berkembang
menjadi profesi tersendiri. Abd al-Malik, mengubah mata uang Bizantium
dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Pada tahun
659, Abd al-Malik mencetak uang sendiri dengan menggunakan kata-kata
dan tulisan Arab. Abd al-Malik, berhasil melakukan pembenahan
adiministrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa
resmi administrasi pemerintahan Islam. Al-Walid ibn Abd al-Malik
[705-715] [putra Abd al-Malik], berkemauan keras dan berkemampuan
melaksanakan pembangunan. Al-Walid ibn Abd al-Malik, membangun
panti-panti untuk orang catat dan semua personil yang terlibat dalam
kegiatan humanis ini digaji oleh negara secara tetap31. Al-Walid ibn Abd
al-Malik, juga membangun jalan-jalan rayayang menghubungkan satu daerah
dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintah dan
mesjid-mesjid yang megah32.
Keberhasil banyak dicapai oleh Dinasti
Bani Umayyah, tetapi hal ini tidak berarti persoalan politik dalam
negeri dapat dianggap stabil. Dalam perjalanan pemerintahan Muawiyah ada
hal-hal yang tidak ditaati dalam isi perjanjian dengan Hasan ibn Ali
ketika Muawiyah akan naik tahta khalifah. Isi perjanjian tersebut adalah
“persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada
pemilihan umat Islam”. Maka api politik semakin membara ketika Muawiyah
mendeklarasikan pengangkatan anaknya Yazid sebagai putera mahkota yang
menyebabkan munculnya gerakangerakan oposisi di kalangan rakyat yang
berakibat terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Analisis situasi politik. Sejumlah tokoh
terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepada Yazid ibn
Muawiyah ketika naik tahta sebagai khalifah. Kemudian Yazid ibn Muawiyah
mengambil sikap dengan mengirimkan surat perintah kepada gubernur
Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia
kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein
ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair sebagai lawan politik. Bersamaan dengan
itu, Syi’ah [pengikut Ali] melakukan konsolidasi [penggabungan] kekuatan
kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali,
maka pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atar permintaan
golongan Syi’ah yang ada di Irak, sebab umat Islam ini tidak mengakui
Yazid sebagai khalifah. Kemudian mereka mengangkat Husein ibn Ali
sebagai khalifah. Akhirnya pertempuran antara kekuatan Yazid ibn
Muawiyah dengan Husein ibn Ali tidak terelahkan dan dalam pertempuran
yang tidak seimbang di Karbela [sebuah daerah di dekat Kufah], tentara
Husein mengalami kekalahan dan Husein sendiri mati terbunuh dan yang
sangat menyedihkan kepala Husein dipenggal dan dikirim ke Damaskus,
sedangkan tubuhnya dikubur di Karbela33.
Tanpaknya gerakan politik dan perlawanan
orang-orang Syi’ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein, tetapi gerakan
mereka bahkan menjadi lebih keras dan gigih dan tersebar luas. Banyak
gerakan politik dan pemberontakan yang dipelopori kaum Syi’ah dan yang
termashur di antaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufa pada tahun
685-687 M. Mukhtar, mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali
[umat Islam bukan Arab] yang berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain
yang dianggap sebagai warga negara kelas dua pada Dinasti Bani Umayyah.
Tetapi, Mukhtar sendiri terbunuh dalam melawan gerakan oposisi lainnya,
gerakan Abdullah ibn Zubair34, namun di satu sisi ibn Zubair juga tidak
berhasil menghentikan gerakan Syi’ah. Gerakan politik dan perlawanan
terhadap Bani Umayyah juga muncul dari gerakan oposisi di Mekkah yaitu
Abdullah ibn Zubair karena menolak sumpah setia pada Yazid ibn Muawiyah.
Abdullah ibn Zubair, baru menyatakan dirinya secaraterbuka sebagai
khalifah setelah Husein Ibn Ali terbunu. Tentara Yazid, kemudian
mengepung Mekkah dan dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak
terhindarkan.
Namun peperangan terhentiu karena
khalifah Yazid wafat dan tentara Yazid ditarik kembali ke Damaskus.
Kekuatan dan gerakan Abdullah ibn Zubair baru dapat dihancurkan pada
masa khalifah Abd al-Malik. Tentara Abd al-Malik dipimpin al-Hajjaj
berangkat menuju Thaif kemudian ke Madinah dan meneruskan perjalanan ke
Mekkah, Ka’bah diserbu dan keluarga ibn Zubair dan sahabatnya melarikan
diri, sementara ibn
Zubair melakukan perlawanan dan akhirnya mati terbunuh pada tahun 73 H – 692 M35.
Zubair melakukan perlawanan dan akhirnya mati terbunuh pada tahun 73 H – 692 M35.
Selain gerakan-gerakan di atas,
gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan kelompok Khawarij dan Syi’ah
juga selalu dapat diredamkan. Maka dengan keberhasilan memberantas
gerakan-gerakan tersebut, membuat orientasi pemerintahan dinasti Bani
Umayyah dirahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah
timur [meliputi kota-kota di sekitas Asia Tengah] dan wilayah Afrika
begian utara dan bahkan membuka jalan untuk menaklukan Spanyol.
Hubungan pemerintah dengan golongan
oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz
[717 – 720 M]. Ketika dinobatkan sebagai khalifah, Umar ibn Abd al-Aziz
menyatakan bahwa akan “memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada
dalam wilayah Islam lebih baik dari pada menambah perluasan wilayah”36.
Hal ini menunjukkan bahwa khalifah Umar ibn Abd al-Aziz menentukan sikap
perioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskinpun masa
pemerintahannya sangat singkat, tetapi Umar ibn Abd al-Aziz berhasil
menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Selain itu, Umar ibn Abd
al-Aziz juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk
beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan
dan kedudukan kaum mawali disejajarkan dengan muslim Arab37.
Sepeninggal Umar ibn Abd al-Aziz,
kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid ibn Abd al-Malik
[720 – 742 M]. Khalifah Yazid ibn Abd al-Malik, sangat gandrung kepada
kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat pada
mada khalifah Umar ibn Abd al-Aziz, hidup dalam ketenteraman dan
kedamaian, sedangkan pada zaman Yazid ibn Abd al-Malik kedaan berubah
menjadi kacau. Maka dengan latar belakang kepentingan etnis politis,
masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd
al-Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah
Hisyam ibn Abd Malik [724 – 743 M]. Pada masa pemerintahan Hisyam ibn
Abd Malik sebagai emberio berakhirnya dinasti Bani Umayyah, karena
muncul satu kekuatan baru dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh
golongan mawali yang menjadi tantangan berat dan ancaman yang sangat
serius. Maka, dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru tersebut mampu
menggulingkan dinasti Bani Umayyah dan menggantikannya dengan dinasti
Bani Abbas.
Menurut sejarawan, bahwa sebenarnya
Hisyam ibn Abd al-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil,
tetapi karane gerakan oposisi terlalu kuat sehingga khalifah tidak
berdaya mematahkan gerakan-gerakan oposisi tersebut. Kemudian
sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, muncul khalifah-khalifah Bani
Umayyah yang lemah dan juga bermoral buruk. Keadaan ini memperkuat
gerakan-gerakan oposisi dan akhirnya pada tahun 750 M, daulat Bani
Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim
al-Khurasani. Khalifah terakhir dari dinasti Bani Umayyah yaitu Marwan
bin Muhammad melarikan diri ke Mesir, kemudian ditangkap dan dibunuh di
Mesir38.
Dari perjelanan sejarah pemerintahan dan
kekuasaan dinasti Bani Umayyah ini, ada beberapa faktor kelemahan yang
menyebabkan dan membawa kehancuran dinasti tersebut. Faktor-faktor
tersebut, antara lain : [1] Sistem pemerintahan khalifah melalui garis
keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih
menekankan senioritas. Ketidak jelasan sistem pergantian khalifah,
menyababkan terjadinya persaingan tidak sehat di kalngan anggota
keluarga istina39. [2] Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah
tidak dapat dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa
Ali ibn Abi Thalib. Siswa-siwa pengkut Ali [Syi’ah] dan Khawarij terus
menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan
akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan
Bani Umayyah.
Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini
banyak menyedot kekuatan pemerintah. [3] Pada masa kekuasaan Bani
Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara [Bani Qays] dan
Arabia Selatan [Bani Kalb] yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam
makin meruncing. Perselihan suku-suku ini mengakibatkan para penguasa
Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalan persatuan dan
kesatuan40. Selain itu, sebagian besar golongan mawali [non Arab],
terutama di Irak dan wilayah begian timur
lainnya, merasa tidak puas karena status mawali menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah41. [4] Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana, sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Selain itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang. [5] Penyabab utama tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
lainnya, merasa tidak puas karena status mawali menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah41. [4] Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana, sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Selain itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang. [5] Penyabab utama tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
2] Khilafah Bani Abbas
Khilafah Abbasiyah melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw, sehingga dinamakan khilafah Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdulah al- Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas dan kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H [750 M] sampai dengan 656 H [1258 M]. Pola pemerintahan yang diterapkan dinasti berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode42, yaitu : [1] Periode Pertama [132 H/750 M – 232 H/847 M, disebut periode pengaruh Persia Pertama. [2] Periode Kedua [232 H/847 M - 334 H/945 M], disebut masa pengaruh Turki pertama. [3] Periode Ketiga [334 H/945 M – 447 H/1055 M], masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah dan periode ini disebut juga dengan masa pengaruh Persia kedua. [4]
Khilafah Abbasiyah melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw, sehingga dinamakan khilafah Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdulah al- Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas dan kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H [750 M] sampai dengan 656 H [1258 M]. Pola pemerintahan yang diterapkan dinasti berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode42, yaitu : [1] Periode Pertama [132 H/750 M – 232 H/847 M, disebut periode pengaruh Persia Pertama. [2] Periode Kedua [232 H/847 M - 334 H/945 M], disebut masa pengaruh Turki pertama. [3] Periode Ketiga [334 H/945 M – 447 H/1055 M], masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah dan periode ini disebut juga dengan masa pengaruh Persia kedua. [4]
Periode Keempat [447 H/1055 M – 590
H/1194 M], masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan
khilafah Abbasiyah dan masa ini disebut juga masa pengaruh Turki kedua.
[5] Periode Kelima [590 H/1194 M – 656 H/1258 M], masa khilafah bebas
dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Bagdad.
Pada periode pertama pemerintahan Bani
Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah
betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan
agama sekaligus. Kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Pada
periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat
dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir,
pemerintah dinasti Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik,
meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang43.
Pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri
dinasti ini sangat singkat yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Pembina
sebenarnya adalah Abu Ja’far al-Mansur [754-775 M].mal-Mansur, sangat
keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga
Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan
kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan beginya
satu persatu disingkirkannya. Bahkan pamannya sendiri yaitu Abdullah bin
Ali dan Shalih bin Ali sebagai gubernur yang ditunjuk oleh khalifah
sebelumnya di Syria dan Mesir, karena tidak bersedia membaiatnya,
keduanya dibunuh oleh Abu Muslim al-Khurasani atas perintah al-Manshur
dan Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing dan
membayakan baginya, dihukum mati pada tahun 755 M.
Pada mulanya ibu kota negara adalah
al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Untuk menjaga stabilitas negara yang baru
berdiri, al-Manshur memindahkan ibu kota Negara ke kota yang baru
dibangunnya, Bagdad dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M.
Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan koordinasi dan
penertiban pemerintahannya, mengangkat sejumlah personil untuk menduduki
jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Menciptakan tradisi baru
dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator departemen44 dan wazir
pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh,
Persia. Selain itu, al-Manshur juga membentuk lembaga protocol negara,
sekretaris negara, dan kepolisian negara serta membenahi angkatan
bersenjata. Menunjuk Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman
negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak dinasti Bani Umayyah
ditingkatkan perannya dengan ditambah tugas yaitu selain mengantar
surat, juga ditugasi untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah
sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur
jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada
khalifah45.
Masa khalifah al-Manshur berusaha
menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari
pemerintahan pusat dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan.
Merebut benteng-benten di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan
Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara, pasukannya melintasi pegunungan
Taurus dan mendekati selat Bosporus. Berdamai dengan kaisar Constantine V
dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti
tahunan. Pasukannya berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus,
Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India46. Pada
masa al-Manshur, terjadi perubahan pengertian khalifah. al-Manshur,
mengatakan “Inna ana Sultahan Allah fi ardhihi” [sesungguhnya saya
adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya]. Dari sini, konsep khilafah dalam
pendangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan “mandat dari
Allah” dan bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi
sebagaimana pada masa al-Khulafa’ al- Rasyadun. Selain itu, ada yang
berbeda dengan khalifah-khalifah dinasti Bani Umayyah, yaitu
khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta”, seperti al-Manshur
adalah “gelar tahta” Abu Ja’far, “gelar tahta” itu lebih popular dari
pada nama sebenarnya47.
Dasar-dasar pemerintahan daulat Bani
Abbasiyah diletakan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja’far
al-Manshur. Puncak keemasan dari dinasti Bani Abbasiyah berada pada
tujuh khalifah sesudahnya, yaitu : [1] al-Mahdi [775-785 M], [2] al-Hadi
[775-786 M], [3] Harun al-Rasyid [786-809 M], [4] al-Ma’mun [813-833
M], [5] al-Mu’tashim [833-842 M], [6] al-Wasiq [842-847 M], dan [7]
al-Mutawakkil [847-861 M].
Katakan saja, pada masa khalifah
al-Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sector
pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti
perak, emas, tembaga, dan besi. Selain itu, dagang transit antara Timur
dan Barat juga banyak membawa kekayaan dengan Bashrah menjadi pelabuhan
yang strategis dan penting48. Popularitas daulat Bani Abbasiyah mencapai
puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid [786-809 M] dan putranya
al-Ma’mun [813-833 M]. Pada masa ini, kekayaan negara banyak
dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit,
lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah
terdapat sekitar 800 orang dokter. Selain itu, permandian-permandian
umum juga dibangun.
Maka dapat dikatakan bahwa tingkat
kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini.
Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa
inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak
tertandingi. Khalifah al-Ma’mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai
khalifah yang sangat cinta pada ilmu. Pada masa pemerintahannya,
penterjemahan buku-buku Yunani, dan al- Ma’mun menggaji
penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang
ahli. al-Ma’mun, banyak mendirikan sekolah dan salah satu karya
besarnya yang terpenting adalam pembangunan Bait al-Hikmah yang
digunakan sebagai p usatpenerjemahan dan juga berfungsi sebagai
perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Maka pada al-Ma’mun
inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan49.
Khalifah al-Mu’tashim [833-842 M],
sebagai anak dari ibu yang berasal dari Turki, mendatangkan orang-orang
Turki untuk menjadi tentara pengawal50. Banyak memberikan peluang kepada
orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan dan keterlibatan
mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Dinasti Abbasiyah, mengadakan
perubahan dalam sistem ketentaraan yaitu praktek orang-orang muslim
mengikuti perang sudah terhenti, tentara dibina secara khusus menjadi
prajurit-prajurit professional. Dengan demikian, kekuatan militer
dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat. Tetapi dalam periode ini,
banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas
pemerintahan, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari laur,
seperti gerakan-gerakan dari sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern
Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindik di
Persia, gerakan Syi’ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran
keagamaan51, tetapi semua gerakan tersebut dapat dipadamkan oleh
pemerintahan Bani Abbas.
Dari paparan di atas, dapat dikatakan
bahwa Dinasti Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan
pembeinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah
kekuasaan. Inilah perbedaan yang menonjol antara dinasti Bani Abbasiyah
dengan Bani Umayyah. Selain itu, ciri-ciri yang menonjol dari dinasti
Bani Abbasiyah yang tak terdapat pada zaman Bani Umayyah, adalah : [1]
Berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi
jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan dinasti Umayyah sangat berorientasi
kepada Arab. Ada pengaruh kebudayaan dalam sistem pemerintahan
Abbasiyah, yaitu : [a] pada periode pertama dan ketiga pemerintahan
Abbasiyah dipengaruhi oleh kebudayaan Persia yang sangat kuat, [b] pada
periode kedua dan keempat pemerintahan Abbasiyah, bangsa Turki sangat
dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti Abbasiyah. [2]
Dalam penyelenggaraan negara, pada masa
Bani Abbasiyah ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala
departemen. Sedangkan jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani
Umayyah. [3] Ketenteraan professional baru terbentuk pada masa
pemerintahaan Bani Abbasiyah. Sbelumnya, pada dinasti Bani Umayyah belum
ada tentara khusus yang professional. [4] Perbedaan lain, pada masa
Bani Umayyah merupakan masa ekspansi daerah kekuasaan dan da’wah Islam,
sedangkan pada masa Bani Abbasiyah adalah masa pembentukan dan
perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam52.
Puncak perkembangan kebudayaan dan
pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Akan
tetapi, ini tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa
Bani Abbasiyah sendiri, tetapi sebagian di antaranya sudah dimulai sejak
awal kebangkitan Islam. Katakan saja, dalam bidang pendidikan, misalnya
diawal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika
itu,lembaga-lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat53, yaitu: [1]
Maktab/Kuttab dan mesjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat
anak-anak mengenal dasar-dasar becaan, hitungan dan tulisan, dan tempat
para rema belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fikih
dan bahasa. [2] Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin menperdalam
ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa
orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang
dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di
mesjid-mesjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak
penguasa, pendidikan dapat berlangsung di istana atau di rumah penguasa
tersebut dengan memanggil ulama ahli ke istana.
Lembaga-lembaga tersebut berkembang pada
masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan berdirinya perpustakaan dan
akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas,
karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana ada orang-orang yang
membaca, menulis, dan berdiskusi54. Jadi, perkembangan lembaga-lembaga
pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab,
baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani
Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Selain itu kemajuan
yang cicapai oleh dinasti Bani Abbasiyah, paling tidak ditentukan oleh
dua hal, yaitu : [1]
Terjadinya asimilasi antara bansa Arab
dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam
bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah,
bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Maka terjadi asimilasi
yang berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Maka bangsa-bangsa
itu telah memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dalam Islam.
Pengaruh Persia, sangat kuat dalam bidang
pemerintahan dan di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam
perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra55. Selain itu, pengaruh India
juga terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi56.
Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam
banyak bidang ilmu, terutama filsafat. [2] Gerakan terjemahan,
berlangsung dalam tiga fase, yaitu : [a] Fase pertama, pada masa
khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini banyak yang
diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. [b]
Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300
H, yaitu banyak buku-buku yang diterjemahkan adalah dalam bidang
filsafat dan kedokteran. [c] Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300
H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang
diterjemahkan semakin meluas57.
Pengaruh dari kebudayaan yang sudah maju
tersebut terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan
agama. Perkembangan yang pesat dalam bidang tafsir, artinya sejak awal
sudah dikenal dua metode penafsiran, yaitu : Pertama, metode tafsir bi
alma’tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi
dari Nabi dan para sahabat. Kedua, metode tafsir bi al-Ra’yi, yaitu
metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran
daripada hadis dan pendapat sahabt. Kedua metode tafsir ini memang
berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Akan tetapi jelas
sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra’yi [tafsir rasional],
dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.
Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fikih dan terutama dalam ilmu
teologi. Makaperkembangan logika di kalangan umat Islam sangat
mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut58.
Imam-imam mazhab hokum yang empat juga
muncul pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Hanifah [700-767
M] dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang
terjadi di Kufah. Kota yang berada di tengahtengah kebudayaan Persia
yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat
kemajuan yang lebih tinggi59. Dengan demikian, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadis. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf menjadi Qodhi al-Qudhat di zaman Harun al-Rasyid. Sedangkan Imam Malik [713-795 M] banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat Madinah, sehingga berbeda dengan Imam Abu Hanifah. Maka pendapat dua tokoh mazhab hokum itu ditengahi oleh Imam Syafi’I [767-820 M] dan Imam Ahmad ibn Hanbal [780- 855 M]. Dalam perkembangan selanjutnya, selain empat pendiri empat mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah banyak muncul mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula, tetapi karena pengikutnya tidak berkembang dan akhirnya pemikiran dan mazhab tersebut hilang dengan sendirinya.
kemajuan yang lebih tinggi59. Dengan demikian, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadis. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf menjadi Qodhi al-Qudhat di zaman Harun al-Rasyid. Sedangkan Imam Malik [713-795 M] banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat Madinah, sehingga berbeda dengan Imam Abu Hanifah. Maka pendapat dua tokoh mazhab hokum itu ditengahi oleh Imam Syafi’I [767-820 M] dan Imam Ahmad ibn Hanbal [780- 855 M]. Dalam perkembangan selanjutnya, selain empat pendiri empat mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah banyak muncul mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula, tetapi karena pengikutnya tidak berkembang dan akhirnya pemikiran dan mazhab tersebut hilang dengan sendirinya.
Aliran-aliran teologi sudah bermunculan
pada masa Bani Umayyah, seperi Khawarij, Murjiah, dan Mu’tazilah. Akan
tetapi perkembangan pemikiran mereka masih terbatas. Teologi rasional
Mu’tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah, namun
pemikiran-pemikiran mereka yang lebih kompleks dan sempurna baru
dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah periode pertama,
setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran
rasional dalam Islam60. Tokoh perumus pemikiran Mu’tazilah yang terbesar
adalah Abu al-Huzail al-Allaf [135-235 H/752-849 M] dan al-Nazzam
[185-21 H/801-835 M]. Aliran Asy’ariyah, yang merupakan aliran
tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan
al-Asy’ari [873-935 M] yang juga lahir pada masa pemerintahan Bani
Abbasiyah ini juga banyak sekali terpangaruh oleh logika Yunani. Hal ini
dapat terjadi, karena al-Asy’ari sebelumnya adalah pengikut aliran
Mu’atazilah. Hal yang sama juga terjadi pula pada bidang sastera.
Penulisan hadis, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbasiyah dan hal
ini mungkin saja disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi,
sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadis bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat
dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi,
kedokteran, filsafat, kimia, dan sejarah. Dalam lapangan astronomi
terkenal nama al-Farazi sebagai astronomi Islam yang pertama kali
menyusun astrolobe. Al-Fargani, dikenal di Eropa dengan namaal-Faragnus,
menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis61. Dalam bidang
kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh
pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measle. Al-Razi, di
Eropa dikenal dengan nama Rhazes, mengarang buku mengenai penyakit
cacar dan campak, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin,
Inggris dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Bukunya Al-Hawi, membahas
berbagai cabang ilmu kedokteran yang terdiri dari 20 jilid. Menurut
Harun Nasution, buku al-Razi yang berjudul al-Hawi merupakan salah satu
dari kesembilan karangan yang merupakan seluruh perpustakaan Fakultas
Kedokteran Paris di tahun 1395 M62. Selain itu, al-Razi, juga orang
pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak63. Perkembangan
selanjutnya, ilmu kedokteran berada di tangan Ibn Sina yang juga seorang
filosof64 dan berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia.
Di antara karya Ibn Sina dalam ilmu
kedokteran adalah al-Qanun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi
kedokteran paling besar dalam sejarah. Bukunya yang termashur adalah
al-Syifa’ dan ensiklopedia tentang fisika65. Dalam bidang optika Abu Ali
al-Hasan ibn al-Haythami, yang namanya di Eropa menjadi Alhazen,
terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim
cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian ternyata
terbukti kebenarannya, bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan karena
menerima cahaya itu mata melihat benda yang bersangkutan. Di bidang
kimia, terkenal nama Jaabir ibn Hayyam yang terkenal sebagai bapak
al-kimia66. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga
dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat
tertentu. Di bidang matematika, terkenal nama Muhammad ibn Masa al-
Khawarizmi yang juga mahir dalam bidang astronomi. Muhammad ibn Masa
al-Khawarizmi, yang menciptakan ilmu aljabar. Kata “aljabar” berasal
dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqabalah67. Dalam bidang sejarah,
terkenal nama al-Mas’udi dan dia juga ahli dalam ilmu geografi dan di
antara karyanya adalah Muruj al-Zaahab wa Ma’adin al-Jawahir. Dalam
bidang filsafat, tokoh-tokoh yang terkenal anadalah al-Farabi, Ibn Sina,
dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika,
jiwa, kenegaraan, etika, dan enterpretasi terhadap filsafat Aristoteles.
Ibn Sina, juga banyak mengarang buku tentang filsafat dan yang terkenal
di antaranya adalah al-Syifa’. Suatu ensiklopedia tentang fisika,
metafisika, dan matematika yang terdiri dari 18 jilid. Di Eropa, Ibn
Sina dengan tafsiran yang dikarangnya tentang filsafat Aristoteles lebih
terkenal daripada Al-Farabi. Ibn Rusyd, di Barat lebih dikenal dengan
nama Averroes, yang banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat,
sehingga di Barat terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Dalam
lapangan penyusunan hadis-hadis Nabi menjadi buku, terkenal nama Muslim
dan Bukhari. Dalam bidang fikih atau hukum Islam terkenal nama-nama,
seperti Malik ibn Anas, al-Syafi’I, Abu Hanifah dan Ahmad ibn Hanbal.
Dalam bidang tafsir, terkenal nama al-Tabari [839-923 M] 68.
Kemajuan politik dan kebudayaan yang
pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang
tidak ada tandingannya di kala itu. Maka pada ini, kemajuan politik
berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga
Islam mencapai keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini
mencapai puncaknya terutama pada masa pemerintahan dan kekuasaan Bani
Abbasiyah pada periode pertama. Tetapi pada perkembangan selanjutnya,
setelah periode ini berakhir, Islam mengalami masa kemunduran.
2. Masa Disintegrasi [1000 – 1250 M]
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya telah mulai terjadi pada akhir dinasti Bani Umayyah, tetapi memuncak di zaman dinasti Bani Abbasiyah terutrama sekali pada khalifah-khalifah yang menjadi boneka dalam tangan tentara pengawal. Daerahdaerah yang jauh letaknya dari pusat pemerintahan di Damaskus dan kemudian Bagdad melepaskaan diri dari kekuasaan khalifah dipusat dan bermunculan dinasti-dinasti kecil69.
Dalam periode pertama, sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi dinasti Abbasiyah. Beberapa gerakan politik yang merongrong pemerintahan dan mengganggu stabilitas mucul di mana-mana, baik gerakan dari kalangan intern Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Namun, semua gerekan tersebut dapat diatasi dengan baik oleh pemerintahan Bani Abbasiyah. Keberhasilan Dinasti Bani Abbasiyah dalam nenanggulangi gejolak dalam negeri, semakin memantapkan posisi dan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Tetapi keadaan ini sangat berbeda dengan priode sesudahnya yaitu setelah periode pertama belalu, para khalifah berada dalam kemewahan, tetapi sangat lemah, dan mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan yang lain70.
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini juga ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Kecenderungan kemewahan-mewah, ditambah dengan kelemahan khalifah dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara professional asal Trki yang semula diangkat oleh khalifah al-Mu’tashim untuk mengambil kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbasiyah mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti Bani Abbasiyah, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun71.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya telah mulai terjadi pada akhir dinasti Bani Umayyah, tetapi memuncak di zaman dinasti Bani Abbasiyah terutrama sekali pada khalifah-khalifah yang menjadi boneka dalam tangan tentara pengawal. Daerahdaerah yang jauh letaknya dari pusat pemerintahan di Damaskus dan kemudian Bagdad melepaskaan diri dari kekuasaan khalifah dipusat dan bermunculan dinasti-dinasti kecil69.
Dalam periode pertama, sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi dinasti Abbasiyah. Beberapa gerakan politik yang merongrong pemerintahan dan mengganggu stabilitas mucul di mana-mana, baik gerakan dari kalangan intern Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Namun, semua gerekan tersebut dapat diatasi dengan baik oleh pemerintahan Bani Abbasiyah. Keberhasilan Dinasti Bani Abbasiyah dalam nenanggulangi gejolak dalam negeri, semakin memantapkan posisi dan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Tetapi keadaan ini sangat berbeda dengan priode sesudahnya yaitu setelah periode pertama belalu, para khalifah berada dalam kemewahan, tetapi sangat lemah, dan mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan yang lain70.
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini juga ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Kecenderungan kemewahan-mewah, ditambah dengan kelemahan khalifah dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara professional asal Trki yang semula diangkat oleh khalifah al-Mu’tashim untuk mengambil kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbasiyah mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti Bani Abbasiyah, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun71.
Kebijakan khalifah al-Mu’tashim terhadap
unsur Turki, dilatarbelakangi oleh adanya persaiangan antar golongan
Arab dan Persia pada masa khalifah al-Ma’mun dan sebelumnya. Perebutan
kekuasaan antara al-Amin dan al-Ma’mun juga dilatarbelakangi dan
diperkuat oleh persaingan antara golongan Arab yang mendukung al-Amin
dan golongan Persia yang mendukung al-Ma’mun72. Jadi masuknya unsur
Turki dalam pemerintahan Bani Abbasiyah semakin menambah persaingan
antar bangsa. Tetapi al-Mu’tashim dan khalifah sesudahnya al-Watsiq
mampu pengendalikan mereka. Akan tetapi, pada khalifah al-Mutawakkil
adalah khalifah yang lemah dan merupakan awal kemunduran politik Bani
Abbasiyah. Pada masa pemerintahannya tentara Turki dapat merebut
kekuasaan dengan cepat dan setelah al- Mutawakkil wafat, mereka yang
mengendalikan untuk memilih dan mengangkat khalifah. Kekuasaan tidak
lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan
khalifah. Sebanranya, ada usaha untuk melepaskan diri dari paraperwira
Turki, tetapi selalu gagal. Dari dua belas khalifah pada periode kedua
ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan
dibunuh, mereka ditunkan dari tahta dengan paksa73. Dengan demikian,
wibawa khalifah merosot tajam. Maka setelah tentara Turki lemah dengan
sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian
memerdekakan diri dari kekuasaan pusat dan mendirikan dinasti-dinasti
kecil. Inilah permulaan mada disintegrasi dalam sejarah politik Islam74.
Dari uraian di atas, dapat dicermati beberapa sebab kemunduran
pemerintahan Bani Abbasiyah, adalah :
1. Masa disintegrasi ini terjadi setelah
pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya.
Pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di
bidang politik. Dimana salah satu sebabnya adalah kecenderungan
penguasa untuk hidup mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin roda
pemerintahan.
2. Dinasti-dinasti75 yang memerdekan diri
dari Baghdad, akibat dari kebijakan yang lebih menekankan pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik.
Propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman
penguasa Bani Abbas dengan berbagai cara, yaitu : [1] pemberontakan yang
dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh
kemerdekaan penuh, seperti daulat Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah76 di
Marokko, [2] seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah,
kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulat Aghlabiyah di
Tunisia dan Thahiriyyah di Khurasan. [3] Bani Umayyah di Spanyol dan
Idrisiyah di Marokko,
propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti, karena pemerintahan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatsi pergolakan yang muncul. Tetapi pada saat wibawa khalifah sudah mulai lemah dan memudar, mereka melepaskan diri dari pemerintahan Baghdad, bahkan mereka menggerogoti kekuasaan khalifah dan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti, karena pemerintahan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatsi pergolakan yang muncul. Tetapi pada saat wibawa khalifah sudah mulai lemah dan memudar, mereka melepaskan diri dari pemerintahan Baghdad, bahkan mereka menggerogoti kekuasaan khalifah dan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
3. Keruntuhan kekuasaan Bani Abbasiyah
mulai terlihat sejak awal kesembilan. Fenomena ini muncul bersamaan
dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di
propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka kuat dan benar-benar
independen77. Sebab, kekuasaan militer Abbasiyah pada saat itu mulai
mengalami kemunduran dan sebagai pengganti, para penguasa Abbasiyah
mempekerjakan orang-orang professional di bidang kemiliteran, khususnya
tentara Turki. Pengangkatan anggota meliter Turki ini, dalam
perkembangan selanjutnyaternyata menjadi ancaman besar terhadap
kekuasaan khalifah.
4. Pada periode pertama pemerintahan
dinasi Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan
syu’ubiyah [kebangsaan/anti Arab]. Gerakan inilah yang banyak memberikan
inspirasi terhadap gerakan politik dan persoalanpersoalan keagamaan.
Nampaknya, para khalifah Abbasiyah tidak sadar akan bahaya politik dari
fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu. Fanatisme ini, berkembang
dalam hampir semua aspek kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan
karya-karya ilmiah, tetapi penguasa Abbasiyah tidak bersungguh-sungguh
menghapuskan fanatisme tersebut, sehingga ada di antara mereka justru
melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan78.
5. Faktor-faktor penting lain yang
menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah pada periode ini, sehingga banyak
daerah memerdekan diri adalah : [1] Luasnya wilayah kekuasaan daulat
Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan.
Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa
dan pelaksana pemerintah sangat rendah. [2] Dengan profesionalisme
militer, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi. [3]
Keuangan negara sangat sulit, karena biaya yang dikeluarkan untuk
militer bayaran sangat besar. Maka pada saat kekuatan militer menurun,
khalifah tidak sanggung memaksa pengiriman pajak ke Baghdad79.
6. Perebutan Kekuasaan di Pusat
Pemerintahan. Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas
menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini
sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Membiarkan jabatan tetap dipegang oleh Bani Abbas, karena khalifah sudah
dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu
gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah
yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil
yang merdeka.
7. Perang Salib [perang suci] ini terjadi
pada tahun 1095, saat Paus Urbanus II berseru kepada Umat Kristen di
Eropa untuk melakukan perang suci80, memperoleh kembali keleluasaan
berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk yang
menetapkan beberapa peraturan yang memberatkan bagi Umat kristen yang
hendak berziarah ke sana. Perag Salib ini, dipicu oleh peristiwa penting
dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa
Manzikart, tahun 464 H [1017 M]. Tentara Alp Arselan yang hanya
berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa itu berhasil mengalahkan
tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis, dan Armenia.
Peristiwa besar ini menanmkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang
Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib.
Kebencian ini bertambah setelah dinasti Seljuk dapat merebut Bait
al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang
berkedudukan di Mesir. Kemudian penguasa Seljuk menerapkanbeberapa
peraturan bagi umat Kristen untuk berziarah ke Bait al-Maqdis dan
peraturan itu dirasakan sangat menulitkan umat Kristen. Maka untuk
memperoleh kembali keleluasan berziarah ke tanah suci Kristen, pada
tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa
supaya melakukan perang suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar